Entri Populer

Sabtu, 21 Mei 2011

Perbandingan Riset Kualitatif dan Kuantitatif di Keperawatan

PERBANDINGAN RISET KUANTITATIF & KUALITATIF DI KEPERAWATAN
I. PENDAHULUAN
Di dalam ilmu keperawatan dikenal istilah “penelitian keperawatan/ nursing research”, penelitian ini menuntut seorang perawat untuk mampu melakukan penelitian sesuai metode dan prosedur kerja penelitian yang benar. Selain itu, peneliti juga harus menggunakan strategi atau cara baru berbasis pengalaman lapangan untuk menemukan realitas di bidangnya atau bidang lain yang terkait (Sudarwan, 2003). Hal ini bertujuan agar dapat menyaring pengetahuan yang telah ada dan membangun pengetahuan baru baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga mampu mempengaruhi praktik-praktik keperawatan untuk dibuat lebih efektif dan efisien.
Penelitian keperawatan ini merupakan proses yang dirancang dan dilakukan secara sistematis untuk mengetahui isu penting di keperawatan termasuk praktek keperawatan, pendidikan keperawatan dan administrasi keperawatan (Polit & Beck, 2006). Ada dua pendekatan penelitian dengan kuantitatif dan pendekatan penelitian dengan kualitatif di dalam penelitian keperawatan. Kedua pendekatan penelitian ini saling melengkapi satu sama lain karena keduanya akan membantu menyeleksi pengetahuan yang berguna di keperawatan. Melihat pentingnya penelitian keperawatan ini maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah dalam membandingkan perbedaan yang terdapat diantara keduanya untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari penelitian kuantitatif dan kualitatif..
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk memaparkan perbandingan dari pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif.
II. PERBANDINGAN RISET KUANTITATIF & KUALITATIF DI KEPERAWATAN
Pendekatan penelitian dengan kuantitatif merupakan pendekatan formal, objektif dan proses sistematik data berupa angka yang dapat digunakan untuk menghasilkan informasi di dunia sedangkan pendekatan penelitian dengan kualitatif merupakan sebuah sistematik, pendekatan subjektif yang digunakan untuk mendeskripsikan pengalaman hidup dan memberikan pengertian (Polit & Beck, 2006). Berdasarkan pengertian diatas maka diperoleh perbedaan pertama yaitu pada lampiran jurnal kuantitatif menggunakan data numerik dan dapat diukur dengan elemen dasar “angka” yang bersifat objektif. Objektif berarti peneliti tidak boleh terpengaruh dan memihak terhadap objek yang diteliti. Hal tersebut dapat dilihat pada jurnal kuantitatif (lampiran I, halaman 3 dan 4, Ogasawara, Kume, Andou, 2003) terdapat tabel 1 mengenai penghitungan demografis, tabel 2 mengenai penghitungan tanda-tanda dan gejala yang sulit yang ditemukan oleh keluarga pasien, tabel 3 mengenai penghitungan jumlah responden atas pemahaman penggunaan alat-alat bius dan tabel 4 mengenai penghitungan jumlah harapan dari keluarga mengenai terminal dan nursing care. Semua data numerik itu berdasarkan penelitian yang benar-benar dilakukan dan berfungsi sebagai informasi. Pada jurnal kualitatif menggunakan pengumpulan dan analisis data contohnya dapat dilihat pada jurnal kualitatif (lampiran 2, data result, halaman 58, 59, 60 dan 63, Tod, 2003) terdapat data collection, data analysis dan result yang dijelaskan dengan menggunakan elemen dasar “kata” dan juga bersifat subjektif karena peneliti memerlukan keberpihakkan dan keterlibatan terhadap partisipan baik dari segi nilai, perasaan dan persepsi pribadi sebagai alat pengukuran realitas hal itu dikarenakan untuk memudahkan peneliti memahami situasi partisipan secara menyeluruh/ holistik.
Perbedaan kedua terletak pada logical reasoning processes, pada penelitian kuantitatif menggunakan deductive reasoning (umum-khusus) yaitu dimulai dengan teori biasanya memberikan bukti atau sebuah hipotesis yang ditetapkan sebelumnya sedangkan pada penelitian kualitatif menggunakan inductive reasoning (khusus-umum) dimulai dengan melakukan pengamatan biasanya dalam rangka untuk mengembangkan hipotesis baru ataupun memberikan kontribusi kepada teori baru (Polit & Beck, 2006). Hal yang membuktikan bahwa penelitian kuantitatif menggunakan deductive reasoning dapat dilihat pada jurnal kuantitatif (lampiran I, halaman 1, kalimat I dan II, Ogasawara, Kume, Andou, 2003) “ since 1986 cancer has been the leading cause of cancer…” dijelaskan bahwa ada teori yang menyatakan pada umumnya masyarakat Jepang meninggal karena cancer dan kemudian peneliti memberi bukti bahwa teori tersebut berdasarkan Statistik dan Informasi Departemen, Menteri Sekretariat, Departemen Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan tahun 1999. Setelah dimulai dengan teori dan pemberian bukti kemudian diikuti dengan paragraf penjelas berisi informasi-informasi yang mendukung paragraf pembuka contohnya dilihat pada jurnal kuantitatif (lampiran 1, halaman 2, pada bagian result) dituliskan informasi pendukung untuk paragraf pembuka dengan cara menjelaskan data-data yang telah diperoleh. Pada lampiran jurnal kualitatif, menggunakan inductive reasoning dapat dibuktikan karena penjelasan rintangan untuk berhenti merokok di masa kehamilan ditemukan pada point akhir paragraf dan paragraf pertama diawali dengan paragraf penjelas. Hal ini dapat dilihat pada paragraf pembuka jurnal kualitatif (lampiran 2, halaman 56, dimulai dari paragraf awal, Tod, 2003) yang memberikan penjelasan mengenai efek merokok bagi si ibu, keadaan bayi, pendapat masing-masing respondent hingga akhirnya paragraf penutup diambil kesimpulan bahwa rintangan terbesar bagi wanita hamil yang merokok yaitu terdapat pada masalah socioeconomic stresses or a large caring burden.
Perbedaan ketiga terletak pada kualitas dari bukti penelitian (quality of evidence) pada lampiran jurnal kuantitatif terdapat reliability yaitu data yang dapat dipercaya karena mengarah pada keakuratan & konsisten serta penting dalam interpretasi statistical analysis kemudian terdapat validity yang merupakan konsep yang paling kompleks dan meyakinkan sedangkan pada kualitatif menggunakan trustworthiness (Polit & Beck, 2006). Di dalam trustworthiness terdapat beberapa kriteria antara lain crediability yaitu mengacu pada keyakinan bahwa peneliti menggunakan riset sesuai dengan “truth” mulai dari ditemukannya data hingga interpretasi peneliti tentang data. Transferability yaitu mengacu pada temuan dari teori yang sudah diperkuat, dapat dipakai dan ditransfer pada pengaturan yang berbeda. Dependability yaitu mengacu stabilitas data yang diperoleh dari data overtime dan over condition harus berhubungan dengan konsep dan ekuivalen. Quality of evidence ini dapat dilihat pada jurnal kualitatif (lampiran 2, tabel 2, halaman 59, Ogasawara, Kume, Andou, 2003) di lampiran tersebut terdapat trustworthiness yang dibagi menjadi berbagai kriteria karena data yang kita peroleh kemungkinan bisa saja mengalami kesalahan mulai dari pengambilan data dan proses menganalisis atau bahkan keduanya. Perbedaan ini dilihat juga dari pernyataan pada jurnal kuantitatif (lampiran 1, kalimat 2, paragraf I, Ogasawara, Kume, Andou, 2003) yang mengatakan bahwa data dapat dipercaya (reliability) dan meyakinkan (validity) karena telah teruji sebelumnya oleh Statistic and Information Department, Minister’s Secretariat, Ministry of health, Labor and Welfare dan benar-benar terjadi pada tahun 1999 di Jepang
Perbedaan keempat yaitu penelitian kuantitatif menggunakan instruments untuk mengukur tingkah laku sedangkan penelitian kualitatif menggunakan komunikasi dan observasi. Hal ini dibuktikan pada jurnal lampiran kuantitatif (lampiran 1, hal 1, bagian metode, Ogasawara, Kume, Andou, 2003) “Completion of a questionnaire comprised of 23 items, including multiple-choice and open-ended questions”. Pada lampiran jurnal kualitatif (halaman 57, kalimat I, bagian metode, Tod, 2003) “the aim of this study was to explore and explain barriers to smoking cessation in pregnancy” dari kalimat tersebut diketahui bahwa dilakukan penelitian dilakukan dengan cara mengeksplor dan menjelaskan rintangan pemberhentian merokok pada masa kehamilan jadi disimpulkan bahwa peneliti menggunakan observasi, interview dan komunikasi.
Perbedaan kelima yaitu pada kuantitatif dilakukan penelitian dengan cara menguji teori yaitu membuktikan bahwa teori yang sudah ada sebelumnya itu benar dan dapat digunakan bahkan dapat diaplikasikan pada bidang keperawatan sedangkan pada kualitatif penelitian dilakukan dengan cara pengembangan teori yaitu melakukan penyempurnaan pengetahuan yang lebih mendalam atau lebih luas sehingga dapat memberikan teori/ pengetahuan yang baru. Pada lampiran jurnal kuantitatif (lampiran 1, halaman 1, pada bagian abstrak yaitu purpose/objectives, Ogasawara, Kume, Andou, 2003) hal tersebut menyatakan “to examine how families of patient…” dari kalimat tersebut dapat kita ketahui bahwa penelitian kuantitatif bersifat menguji hubungan diantara variabel yaitu antara families of patient with cancer perceive dengan satisfied with terminal care given in hospital. Pada penelitian kualitatif (lampiran 2, hal 58 pada bagian result) pengembangan teori diketahui dari cara peneliti mengembangkan fakta yang sudah ada mengenai rintangan dalam melakukan pemberhentian merokok pada masa kehamilan dan kemudian peneliti menganalisis kembali kesadaran/pandangan responden mengenai rintangan untuk berhenti rokok bagi mereka sehingga diperoleh teori-teori baru dari penelitian tersebut dan mengakibatkan teori makin berkembang.
Setelah mengetahui perbandingan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif maka diharapkan peneliti mampu memilih metode ilmiah yang tepat. Memilih metode secara akurat akan membantu proses penelitian lebih lanjut dalam memberi jawaban atas pertanyaan dari masalah yang timbul dalam dunia keperawatan. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang utuh bagi keperawatan karena penelitian keperawatan mempelajari integritas bidang pengetahuan dan perilaku manusia serta pengaruhnya terhadap masalah kesehatan manusia.


III. KESIMPULAN
Penelitian keperawatan mutlak diperlukan agar ilmu pengetahuan dapat berkembang dan permasalahan yang timbul dapat dipecahkan. Penelitian ini sangat mempengaruhi praktek, pendidikan dan administrasi keperawatan. Bila timbul masalah maka hal ini akan memicu perawat untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, sebelum perawat melakukan penelitian diharapkan mampu memahami perbedaan penelitian dengan pendekatan kuantitatif dan penelitian pendekatan kuantitif. Setelah mampu membandingkan dan memahami keduanya maka perawat dapat memilih metode ilmiah apa yang tepat digunakan dalam melakukan penelitiannya. Metode yang tepat akan mempengaruhi proses dan hasil penelitian. Hasil penelitian yang baik dapat bermanfaat secara langsung bila mampu menghadapi persoalan yang timbul maupun bagi pengembangan ilmu dalam keperawatan.

Analisa Data Hasil Pengkajian Pasien dengan Menggunakan Teori Psikologi

I. PENDAHULUAN

Setiap manusia tidak terlepas dari dilemma hidup. Apabila dilemma itu tidak dapat dipecahkan maka terjadilah respons emosional dalam diri seseorang. Respon itu akan membentuk sebuah istilah yang kita sebut dengan depresi. Depresi dapat terjadi pada siapapun dan tidak mengenal batas usia, jenis kelamin, kedudukan, suku, maupun ras. Banyak orang beranggapan bahwa depresi itu merupakan suasana hati seseorang ketika ia merasa sedih namun anggapan itu sepenuhnya adalah keliru. Definisi WHO mengenai depresi dapat diungkapkan sebagai kondisi gangguan mental yang hadir dengan suasana hati tertekan, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendahnya harga diri, gangguan tidur & nafsu makan, serta menurunnya konsentrasi.
Depresi disebabkan oleh beberapa faktor utama seperti faktor genetika, lingkungan, peristiwa hidup, kondisi medis, dan cara orang bereaksi terhadap hal-hal yang terjadi dalam hidup mereka. Faktor tersebut dapat menyebabkan terganggunya aktivitas sosial seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi perawat merupakan tantangan besar untuk mampu menghadapi pasien yang mengalami gangguan mental khususnya depresi. Perawat harus mampu mencegah rasa putus asa dan ketidakberdayaan yang dialami pasien karena hal itu akan memicu usaha bunuh diri yang biasanya sering dilakukan oleh pasien-pasien depresi. Menurut Holinger tahun 1978 & Offer tahun 1981 menyatakan pasien yang sering melakukan usaha bunuh diri biasanya pasien yang berada diusia remaja dan usia lanjut. Setelah usia remaja angka bunuh diri akan berkurang namun melonjak kembali pada usia tua (Yustinus, 2006).
Untuk mencegah usaha bunuh diri perawat dapat mengidentifikasi masalah keperawatan pasien dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data menurut teori-teori psikologi. Hal ini dikarenakan teori psikologis memberikan penjelasan berbasis bukti untuk mengetahui penyebab depresi melalui tindakan, perasaan, kepribadian, pola pikir, sejarah dan pengalaman masa lalu serta hubungan interpersonal (Nemade, Reiss & Dombeck, 2007). Pasien yang dikaji adalah pasien X,wanita, 28 tahun, mengalami depresi karena ditinggalkan kekasihnya tanpa alasan yang jelas.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menganalisa dan membandingkan kesehatan pasien ini dengan menggunakan teori-teori psikologi serta memilih pendekatan yang tepat untuk membantu mengatasi masalah yang dialami pasien.

II. Analisa Data Hasil Pengkajian Pasien Depresi dengan Menggunakan Teori Psikologi
Sebagai bagian dari kondisi medis psikiatris menurut teori humanistik, depresi didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang menganggap dirinya berbeda/real self dengan fakta objektif/ ideal self (Beck & Alford, 2009). Kondisi depresi ini biasanya akan mempengaruhi perasaan, pikiran, fisik dan tingkah laku seseorang. Hal ini dikarenakan pasien depresi mengalami pengurangan rasa harga diri secara luar biasa dan mengalami kemiskinan ego dalam skala yang besar. Namun menurut Sigmund Freud dalam teori pikodinamikanya ia mengatakan bahwa depresi merupakan reaksi kompleks terhadap kehilangan (loss). Dengan adanya rasa sedih yang normal kemudian timbul depresi sebagai respon dari kehilangan seseorang atau sesuatu yang sangat dicintai.
Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa terdapat persamaan antara definisi teori psikodinamika dan teori humanistik dengan masalah yang dialami pasien X. Pasien ini mengalami depresi karena ia ditinggalkan oleh kekasihnya tanpa alasan yang jelas. Hal itu membuat pasien tidak bisa menerima dirinya sendiri karena menurut pasien kejadian itu merupakan kesalahannya. Data pasien tersebut juga dapat dihubungkan dengan teori kognitif yang menyatakan bahwa seseorang berpikiran negatif tentang dirinya dan mereka melakukan interpretasi yang salah dan menyimpang dari realita (Beck & Alford, 2009). Dari teori kognitif tersebut dipertegas kembali bahwa pasien X menilai peristiwa yang terjadi dari segi negatif dengan cara mengkritik diri sendiri secara berlebihan. Akibatnya pasien X tidak mampu membentuk konsep diri yang positif sehingga pasien mengalami depresi yang hebat dalam dirinya.
Terdapat dua tipe gejala pada pasien depresi yaitu depresi yang ditandai dengan kelambanan / retarded depression dan depresi yang ditandai dengan ketidaktenangan / agitated depression (Yustinus, 2006). Tidak hanya ada satu gejala tunggal dari depresi tetapi banyak gejala-gejala lain. Gejala-gejala itu antara lain gejala emotional manifestations seperti; perubahan perasaan pasien terhadap respon gembira saat situasi senang dan respon sedih saat situasi dukacita, perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya ikatan emosional, meningkatnya frekuensi menangis dan hilangnya rasa humor; gejala cognitive manifestations seperti; rendahnya penilaian terhadap diri sendiri, timbulnya pikiran-pikiran negatif, menyalahkan dan mencela diri sendiri, ketidaktegasan/ sulit membuat keputusan, dan mempunyai gambaran yang salah tentang citra diri; gejala motivational manifestations seperti; hilangnya motivasi dalam melakukan segala aktivitas, keinginan untuk menghindar dan menarik diri, meningkatnya ketergantungan dan menginginkan bantuan, pegarahan dan bimbingan dari orang lain; dan gejala terakhir yaitu vegetative manifestations seperti hilangnya nafsu makan, mengalami gangguan tidur, hilangnya nafsu seksual, perasaan lelah yang sangat berat, gangguan berat badan dan kemampuan fisik (Beck & Alford, 2009).
Berdasarkan hasil pengkajian diperoleh data-data bahwa pasien X cenderung lambat dalam melakukan aktivitasnya seperti duduk, makan,dan aktivitas lainnya, tatapan mata kosong, pasien selalu diam dan nada bicara yang datar tanpa ada ekspresi wajah, pasien tidak nafsu makan, pasien terlihat sedih dan murung, pasien sulit untuk tidur, dan ketika teman sejawat pasien mengunjunginya serta memberikan sedikit humor, pasien hanya terdiam dan tidak merespon hal tersebut.
Bila dibandingkan dengan teori psikodinamik dapat disimpulkan bahwa pasien ini termasuk di dalam tipe gejala depresi yang ditandai dengan kelambanan/ retarded depression karena pasien cenderung lambat melakukan gerakan tubuh. Pasien X juga mengalami gangguan pada emotional manifestation yaitu saat pasien tidak memberi respon ketika temannya memberi cerita humor dan pasien menganggap sumber kesalahan terdapat pada dirinya. Selain itu pasien mengalami gangguan pada motivational manifestations karena hilangnya keinginan pasien untuk melakukan aktivitasny dan pasien selalu berdiam diri. Pasien juga mengalami gangguan cognitive manifestations dibuktikan ketika proses pemikiran pasien berjalan sangat lambat saat ada pembicaraan dari pihak lain, gangguan pada vegetative manifestations juga terjadi pada diri pasien diketahui dari perolehan data yang menyatakan bahwa pasien sulit untuk tidur dan berkurangnya nafsu makan. Berdasarkan hasil perbandingan di atas dapat dinyatakan bahwa adanya persamaan antara teori dengan masalah yang dihadapi pasien.
Pasien depresi rentan terhadap tindakan bunuh diri sebagai usaha melarikan diri dari konflik yang tidak terselesaikan. Hal ini tidak bertolak belakang terhadap penjelasan Meninger tahun 1938 yang menyatakan bahwa teori psikodinamik memberikan pandangan mengenai tujuan orang bunuh diri bukan hanya untuk membinasakan diri tetapi juga objek (orang) yang hilang yang telah diidentifikasikan orang tersebut karena dianggap terdapat pengkhianatan atau penolakan. Meyer & Salmon tahun 1998 juga mendukung hal ini dengan yang menjelaskan bahwa konsep Sigmund Freud yang terdapat dalam teori evolusioner mengenai instink kematian dan teori psikodinamika mengenai kehilangan kontrol ego yang menjadi dasar utama bagi seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri. Hasil pengkajian pasien X, diperoleh data bahwa pasien ditemukan oleh temannya hendak melakukan usaha bunuh diri sampai akhirnya tindakan itu digagalkan dan pasien dibawa ke rumah sakit dalam kondisi tubuh tidak berdaya.
Setelah dilakukan analisa data, terdapat persamaan antara teori yang dinyatakan oleh Sigmund Freud dengan data objektif pasien. Hal tersebut dinilai dari kemarahan yang dialami pasien X dialihkan pada diri sendiri sehingga timbul usaha bunuh diri dari dalam diri pasien. Hal ini juga dipertegas dari ungkapan pasien yang mengatakan “aku ingin mati” dan “aku yang bersalah”. Kalimat ini dapat diartikan sebagai ungkapan agresi terhadap objek (orang) dan bukan terhadap diri sendiri. Ego lebih menonjol dibandingkan id karena dorongan untuk bertahan hidup berkurang. Selain itu ditemukan juga instink kematian karena terdapat perbuatan-perbuatan pasien yang menjurus pada kematian yaitu usaha bunuh diri.
Setelah mengetahui penjabaran dari teori-teori psikologi diatas, dapat ditentukan bahwa pendekatan yang sesuai untuk membantu mengatasi masalah pasien X adalah dengan menggunakan pendekatan kognitif. Hal ini dikarenakan bahwa pendekatan kognitif berfokus pada pengurangan gejala dengan mengidentifikasi permikiran pasien yang benar dan mengoreksi asumsi pasien yang salah. Terapi konsentrasi ini dapat mengubah pemikiran dan tindakan yang negatif dalam hidup pasien X, sehingga pasien X tidak lagi menginterpretasikan bahwa dirinya yang bersalah dalam konflik yang sedang dialaminya.

III. Kesimpulan
Banyak teori-teori psikologi yang berhubungan dengan kasus depresi, namun dalam kasus ini penulis menghubungkannya dengan teori psikodinamika, teori evolusioner, teori humanistik dan teori kognitif. Berdasarkan penjelasan dari ketiga teori ini diketahui dua tipe gejala pada pasien depresi yaitu depresi yang ditandai dengan kelambanan / retarded depression dan depresi yang ditandai dengan ketidaktenangan / agitated depression. Selain itu juga, diketahui bahwa terdapat beberapa gejala-gejala pada pasien depresi yang berhubungan dengan masalah kepribadian pasien X diantaranya adalah gangguan emotional manifestation, motivational manifestations, cognitive manifestations, dan vegetative manifestation.
Gangguan-gangguan depresi tersebut akan membuat pasien mengalami keputus asaan dan ketidakberdayaan. Hal tersebut akan mendorong pasien untuk melakukan usaha bunuh diri. Demi mencegah tindakan tersebut maka perawat perlu melakukan pendekatan kognitif. Pendekatan kognitif ini akan membantu pasien X mengubah pemikiran atau asumsi yang salah tentang dirinya. Sehingga pasien tidak mempersalahkan dirinya secara berlebihan dan depresi pasien X dapat teratasi.

Pencegahan Infeksi dengan Cara Mencuci Tangan

I. PENDAHULUAN
Mikroorganisme banyak ditemukan di sekitar kehidupan kita terutama di lingkungan klinis keperawatan. Mikroorganisme adalah makhluk mikroskopik yang mampu melakukan proses kehidupan misalnya bakteri, virus dan jamur (Potter & Perry, 2005). Organisme ini dapat menyebabkan timbulnya macam-macam masalah kesehatan dalam tubuh manusia termasuk infeksi nosokomial yang sering terjadi di lingkungan klinis. Mikroorganisme ini dapat dihilangkan dari permukaan dengan gesekan mekanis dan pencucian tangan dengan teknik yang benar menggunakan sabun atau deterjen (Achmadi, U.F, 2005).
Pencucian tangan merupakan salah satu cara pengontrolan infeksi yang sangat mudah dilakukan. Pencucian tangan ini wajib dilakukan sebelum dan setelah perawat melakukan tindakan perawatan namun, bila kita telaah lebih dalam tindakan nyata di lingkungan klinis masih banyak perawat kita yang belum mempunyai tingkat kesadaran tinggi untuk memperhatikan pentingnya cuci tangan bagi kesehatan pasien dan dirinya sendiri. Manfaat ini juga penting dalam mengurangi penyebaran mikroorganisme dan mencegah terjadinya penyakit. Melihat pentingnya hal tersebut maka penulis tertarik mengangkat masalah pengontrolan infeksi di lingkungan klinis dengan cara mencuci tangan.
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk menjelaskan kekuatan dan kelemahan dari mencuci tangan dalam lingkungan klinis.
II. PENCEGAHAN INFEKSI DENGAN CARA MENCUCI TANGAN
Banyak kehidupan yang hilang setiap tahunnya karena diserang berbagai infeksi dalam lingkungan klinis. Oleh karena itu, tempat klinis mempunyai langkah-langkah tertentu untuk mengurangi penyebaran penyakit menular. Langkah-langkah itu merupakan bagian dari pencegahan infeksi. Teknik yang paling dasar, sederhana dan efektif dalam pengontrolan penularan infeksi di lingkungan klinis adalah mencuci tangan. Mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun secara bersamaan seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang kemudian dibilas di bawah aliran air dikutip dari Larson tahun 1995 (Poter & Perry, 2005).
Menurut Asosiasi Kedokteran Microbiologist tahun 1995 perawat di lingkungan klinis diindikasikan untuk mencuci tangan sebelum melakukan tindakan misalnya saat memulai tindakan perawatan seperti pemasangan infus, pemberian obat pasien, kontak langsung dengan pasien saat melakukan pemeriksaan hingga sampai saat perawat hendak pulang, dan perawat juga wajib mencuci tangan sesudah melakukan tindakan perawatan karena kemungkinan besar akan terjadi pencemaran atau bahkan penularan seperti setelah memegang alat-alat medis pasien, setelah membuka sarung tangan, setelah memandikan pasien bed rest total, dll. Pernyataan itu di dukung oleh teori standar precaution yang menyatakan “mencuci tangan setelah tersentuh darah, cairan tubuh, sekresi dan eksresi, dan segala sesuatu yang telah terkontaminasi. Segera mencuci tangan setelah melepas sarung tangan dan kontak dengan pasien. Jauhi penyebaran infeksi mikroorganisme kepada pasien dan lingkungan”.
The Center for Disease Control (CDC) dan Public Health Service menyarankan kegiatan mencuci tangan ini sebaiknya dilakukan paling sedikit 10-15 detik dikutip dari Garner dan Favero tahun 1986 (Poter & Perry, 2005) dan diperlukan juga beberapa sarana mencuci tangan di lingkungan klinis yaitu adanya air mengalir karena telah dibuktikan mikroorganisme akan terlepas dari permukaan kulit karena bila menggunakan gayung atau ember maka mikroorganisme akan menempel di gagang gayung atau ember dan percikan air tersebut kemungkinan besar akan masuk ke tempat penampungan air bersih, sabun/deterjen sebagai alat pelicin sehingga mikroorganisme terlepas dengan mudahnya dari permukaan kulit namun lebih baik menggunakan sabun antimikroba berbentuk cairan karena bila berbentuk padatan kemungkinan besar mikroorganisme akan menempel di sabun tersebut, larutan antiseptik/antimikroba topikal digunakan untuk menghambat bahkan membunuh aktivitas kerja mikroorganisme di kulit kita namun larutan antiseptik yang paling baik digunakan adalah yang tidak mengakibatkan iritasi kulit, efektif untuk sekali pakai dan tidak perlu berulang-ulang, dapat diterima secara visual maupun estetik contohnya seperti yang dipakai di rumah sakit - rumah sakit besar kebanyakan mereka menggunakan chlorhexedin sebagai larutan antiseptik, dan sarana pengering tangan seperti handuk, tisu, kertas atau handuk katun untuk sekali pemakaian.
Selain itu melakukan pencucian tangan juga dapat dilakukan dengan tiga cara yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan antara lain mencuci tangan higienik (rutin) yang bertujuan untuk mengurangi kotoran dan flora yang ada di tangan dengan menggunakan sabun atau deterjen dengan lama waktu 10-20 detik, mencuci tangan aseptik yang dilakukan sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan menggunakan antiseptik dengan lama waktu 1 menit dan mencuci tangan bedah (surgical handscrub) dilakukan sebelum melakukan tindakan bedah cara aseptik dengan antiseptik dan sikat steril dengan lama waktu 3-5 menit (Achmadi, U.F, 2005).
Bermacam prosedur yang telah ditetapkan The Central for Disease Control and prevention mengenai pencucian tangan namun masih banyak perawat yang tidak mempunyai kesadaran tinggi tentang pentingnya mencuci tangan padahal mencuci tangan mempunyai kekuatan/kelebihan bagi kesehatan perawat yaitu untuk mengurangi mikroorganisme di tangan, menciptakan hiegene diri dan lingkungan hingga mencegah penyakit menular yang disebabkan dari mikroorganisme seperti infeksi sedangkan pentingnya mencuci tangan yang dapat dirasakan pasien yaitu kemungkinan besar tidak akan ada penyakit yang dapat memperburuk kesehatan pasien misalnya pasien “A” terserang penyakit Diabetes Militus namun karena perawat-perawat tetap menjaga kebersihan tangan maka kemungkinan besar pasien “A” tidak akan menderita penyakit tambahan selama pasien berada di lingkungan klinis.
Kekurangan/kelemahan dari mencuci tangan bila dihubungkan dengan kesehatan yaitu seringnya menggunakan sabun atau deterjen maka lapisan lemak kulit akan hilang dan membuat kulit menjadi kering bahkan pecah-pecah, bila dihubungkan dengan adanya pembatasan pengeluaran biaya dari pihak klinis tempat perawat bekerja maka akan terjadi minimnya persediaan tisu, sabun yang ada dan air yang dikeluarkan setiap harinya karena masing-masing perawat mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda dalam mencuci tangan, bila dihubungkan dengan waktu dalam setiap shift perawat akan lebih banyak memutuskan untuk mencuci tangan dengan tidak memperhatikan prosedur karena kebanyakan mereka menganggap waktu mereka akan habis begitu saja untuk terus-menerus mencuci tangan sedangkan setiap perawat diberi tanggung jawab untuk merawat beberapa pasien dengan seluruh kebutuhannya.
Jadi, solusi yang dapat penulis ambil yaitu walaupun kegiatan infeksi kontrol dengan mencuci tangan itu merupakan cara yang sangat sederhana dan juga tidak luput dari kelemahan-kelemahan yang ada maka kemungkinan akan lebih baik bila pelayanan yang diberikan kepada pasien lebih ditingkatkan misalnya meningkatkan kesadaran akan mencuci tangan sehingga tidak akan ada lagi penularan infeksi nosokomial di lingkungan klinis karena ditularkan oleh si pemberi pelayanan kesehatan/perawat dan akan lebih baik bila mempunyai penilaian positif terhadap kegiatan mencuci tangan karena mencuci tangan itu sendiri mempunyai kekuatan untuk mampu menjaga kesehatan perawat dan juga pasien.

III. KESIMPULAN
Mikroorganisme paling banyak ditemukan di lingkungan klinis keperawatan oleh sebab itu perawat diperlukan untuk tetap melakukan infeksi kontrol dengan cara mencuci tangan. Mencuci tangan merupakan kegiatan sederhana namun efektif dalam pencegahan infeksi asalkan dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Perawat diindikasikan mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan. Hal itu disebabkan karena kemungkinan besar mikroorganisme melakukan penyebaran maka dalam mencuci tangan diperlukan sarana cuci tangan yang sesuai standar kesehatan yaitu adanya air mengalir, sabun atau deterjen cair, larutan antiseptik dan adanya sarana pengering tangan seperti handuk, tisu, kertas atau handuk katun untuk sekali pemakaian. Mencuci tangan itu juga dapat dilakukan dengan tiga cara yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan antara lain mencuci tangan higienik (rutin), mencuci tangan aseptik, dan mencuci tangan bedah (surgical handscrub).
Mencuci tangan juga mempunyai kelemahan dan kekuatan tersendiri. Kekuatan dari mencuci tangan yaitu mengurangi mikroorganisme di tangan, menciptakan hiegene diri dan lingkungan hingga mencegah penyakit menular yang disebabkan dari mikroorganisme seperti infeksi sedangkan kelemahannya yaitu seringnya mencuci tangan akan membuat kulit kering dan pecah-pecah, akan memboroskan penggunaan waktu, persediaan tisu, air, dan sabun.
Jadi, solusi yang dapat diambil yaitu walaupun kegiatan infeksi kontrol dengan mencuci tangan itu merupakan cara yang sangat sederhana namun akan lebih baik bila pelayanan yang diberikan kepada pasien lebih ditingkatkan misalnya meningkatkan kesadaran akan mencuci tangan sehingga tidak akan ada lagi penularan infeksi nosokomial di lingkungan klinis karena ditularkan oleh si pemberi pelayanan kesehatan/perawat.

REFERENSI
Achmadi, U.F. (2005). Pedoman pelaksana kewaspadaan universal di pelayanan kesehatan. Jakarta: Bakti Husada.
Aziz, A.M. (2009).Variations in aseptic technique and implications for infection control. Jurnal of infection control. Retrieved March, 29, 2009 from http://ezproxy.library.uph.ac.id:2104/ehost/pdf?vid=12&hid=114&sid=b6c7f3ab-7f65-40be-8c49-105d8f51bd5b%40sessionmgr107
Contino, D. (2008). Hand washing is key to stop infection spread. Journal of control infection. Retrieved March 28, 2009 from
http://ezproxy.library.uph.ac.id:2104/ehost/pdf?vid=25&hid=104&sid=f0091e57-699f-4452-9805-e955ecd09e20%40sessionmgr108
Kusserow. (2008, January 3). Personal hygiene. Retrieved March 29, 2009 from
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.eastdevon.gov.uk/google/handwashing-3.jpg&imgrefurl=http://www.eastdevon.gov.uk/google/personal_hygiene%3Frelatedinfo%3Dhide&usg=__jtgZ0DXfJXNT5vZCs9zQLbB0le4=&h=502&w=404&sz=23&hl=id&start=18&um=1&tbnid=JJ5zHnr3JiYKUM:&tbnh=130&tbnw=105&prev=/images%3Fq%3Dhand%2Bwashing%26hl%3Did%26sa%3DX%26um%3D1
Lindberg. D.A.B. (2008). Kontrol infeksi. Retrieve March 29, 2009 from http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/infectioncontrol.html
Nunkoo & Pickles. (2009). Infection prevention and control in general practice. Journal of infection control. Retrieved March 28, 2009 from
http://ezproxy.library.uph.ac.id:2104/ehost/pdf?vid=21&hid=104&sid=f0091e57-699f-4452-9805-e955ecd09e20%40sessionmgr108
Potter & Perry. (2005). Fundamental of nursing: concept, process, and practice, 4/E. Jakarta: EGC.

Pembuatan Keputusan Klinis Melalui Proses Keperawatan

PENDAHULUAN
Kebanyakan pasien yang dirawat sering menyampaikan keluhan nyeri pada salah satu atau beberapa bagian tubuhnya kepada perawat. Nyeri bersifat subjektif dan tidak ada kemungkinan bila seseorang dapat merasakan nyeri yang dirasakan orang lain dalam waktu yang bersamaan. Sehingga dapat diartikan bahwa nyeri merupakan data subjektif yang didasarkan pada persepsi pasien dan nyeri ini tidak dapat diukur secara objektif baik melalui tes laboratorium maupun data diagnosa pasien (Daniels, 2004).
Perawat terkadang memiliki pandangan yang tidak kongruen dengan persepsi pasien mengenai nyeri yang mereka alami. Penilaian yang salah tersebut menyebabkan tidak adanya penanganan secara khusus untuk mengatasi nyeri. Berdasarkan kasus nyeri ini, Lennan & Madjar tahun 2004 mengharapkan perawat memainkan peran penting dalam menilai dan mengelola nyeri yang dialami pasien (Godfrey, 2005). Data atau laporan yang diperoleh dari pasien dapat menjadi dasar penilaian perawat. Penilaian ini harus meliputi deskripsi rasa sakit seperti lokasi, durasi, frekuensi, intensitas,dan respon kognitif pasien untuk nyeri yang dirasakan. Hal ini menuntut adanya komunikasi yang efektif antara pasien, keluarga, dan professional caregivers untuk mencapai management pain yang tepat.
Untuk memperoleh management pain yang tepat perawat wajib memiliki pemahaman dalam memberikan keputusan bagi kesehatan pasien. Cara yang dapat diambil untuk mencapai hal tersebut yaitu dengan menggunakan nursing process model. Didalam nursing process perawat wajib mengumpulkan data-data yang mendukung mengenai nyeri yang dialami pasien. Data harus sesuai dengan logical thinking dan intuitive knowing agar diperoleh keputusan yang rasional dan tercapainya hasil yang diharapkan (Burkhardt & Nathaniel, 2008). Oleh karena itu,penulis mengkaji pasien X, 57 tahun, dengan diagnosa medis post operasi apendektomi, untuk memperoleh intervensi nyeri yang tepat bagi pasien tersebut.
Melihat pentingnya peran perawat dalam mengidentifikasi masalah kesehatan pasien tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah mengenai pembuatan keputusan klinis. Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk menjelaskan pentingnya proses keperawatan sebagai tolak ukur pembuatan keputusan klinis mengenai nyeri.
PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIS NYERI MELALUI PROSES KEPRAWATAN
Pengertian nyeri menurut International Association for the Study of Pain (IASP) tahun 1979 mengatakan bahwa perasaan yang mengganggu, sensori subjektif dan emosional yang berhubungan dengan rusaknya jaringan pada bagian tubuh ( Potter & Perry, 2009). Untuk mengatasi masalah nyeri yang dialami pasien perawat dapat menggunakan proses keperawatan. Melalui proses keperawatan ini, dapat diketahui pengidentifikasian masalah nyeri dari pengkajian subjektif dan pengkajian objektif, pengembangan rencana keperawatan sebagai pedoman untuk mencapai hasil yang diharapkan, implementasi dari hasil intervensi, evaluasi hasil dan perbaikan rencana keperawatan sepanjang melakukan tindakan keperawatan (Burkhard & Nathaniel, 2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses keperawatan merupakan pedoman untuk melakukan pendekatan penatalaksanaan nyeri secara sistematis sehingga dapat memahami nyeri yang pasien rasakan.
Pengkajian nyeri yang aktual sangat diperlukan karena dapat digunakan sebagai data pokok dalam memutuskan sebuah diagnosa keperawatan, menyeleksi pemberian terapi yang tepat, dan mengevaluasi respon pasien terhadap terapi (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan hasil pengkajian diperoleh data subjektif yaitu pasien X dirawat di rumah sakit dengan keluhan nyeri pada bagian perut sebelah kanan bawah. Pasien merupakan pasien nyeri akut, hal ini didukung dari pengertian nyeri akut menurut Brown & Edward tahun 2005 yaitu durasi nyeri yang singkat, menyerang kerusakan jaringan tubuh dan emosi seseorang. Dari penjelasan tersebut sama halnya dengan keadaan yang dialami pasien yaitu mengalami nyeri dengan durasi mencapai 2 hingga 3 menit dan emosi pasien meningkat bila mendengar suara-suara yang mengganggu pola tidurnya.
Riwayat awal penyakit yang dialami pasien yaitu ia mengalami nyeri perut sejak 3 bulan yang lalu dengan frekuensi nyeri hilang timbul. Menurut pasien hal ini terjadi sejak pasien memilih untuk tinggal bersama anak perempuannya, namun di tempat tinggal yang baru pasien tidak pernah mengkonsumsi buah dan sayur selama berbulan-bulan yang dikarenakan jarak pusat perbelanjaan dengan rumah anaknya cukup jauh. Perubahan pola makan tersebut membuat pasien sering merasakan sakit dibagian perut sebelah kanan bawah. Karena nyeri tidak tertahankan maka pasien memutuskan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan dan hasilnya pasien harus menjalankan operasi apendektomi.
Setelah operasi apendektomi dilakukan, kondisi pasien tampak lemas dan meringis kesakitan saat melakukan mobilisasi. Pasien mengatakan beliau berada di level nyeri 4 dari skala 0 hingga 10. Alat pengkajian ini dinamakan skala numerik/ Numeric Rating Scale. Skala numerik ini berfungsi untuk mengkaji sesudah dan sebelum intervensi terapeutik (Daniels, 2004).
Respon fisiologis pasien terhadap nyeri yaitu pasien mengeluh, mengatakan tidak nyaman dan gelisah bila ingin tidur/ istirahat. Sehingga perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital pasien saat pengkajian. Pasien mempunyai suhu 35,9 ÂșC ; tekanan darah 110/80 mmHg; nadi 82 kali/menit dan respirasi 20 kali/menit. Pengkajian ini tidak bertolak belakang dengan penjelasan Potter & Perry tahun 2009 yang menyatakan bahwa “ nyeri tidak bersifat statistik tetapi dinamik sehingga sangat diperlukan memonitor keadaan nyeri secara teratur beserta observasi tanda-tanda vital”.
Setelah melakukan pengkajian dan memperoleh dan menganalisis data secara lengkap maka perawat dapat membuat diagnosa keperawatan yang tepat bagi masalah kesehatan yang dialami pasien. Diagnosa yang diambil yaitu nyeri berhubungan dengan terputusnya kontiniunitas jaringan ditandai dengan ekspresi wajah dan verbalisasi.
Terdapat tiga bagian dalam tahap perencanaan pada proses keperawatan yaitu tujuan, kriteria hasil dan intervensi. Tujuan merupakan hal yang menjadi target utama dalam menangani nyeri pasien, sehingga tujuan yang diambil adalah pasien akan mengalami penurunan skala nyeri yang sangat memuaskan dalam waktu 24 jam. Kriteria hasil merupakan hal yang ingin dicapai/ diperoleh dari kesehatan pasien, kriteria hasil yang diharapkan dari kasus pasien X yaitu pasien melaporkan bahwa nyeri berada di level 2 atau kurang dari 2 dari skala 0 hingga 10. Perencanaan yang akan dilakukan bagi pasien yaitu : kaji karakteristik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan menggunakan skala numeris (0-10) hal ini untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan jenis tindakan selanjutnya; pertahankan mobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien; lakukan kolaborasi dengan tim medis (dokter) dalam pemberian analgesik dan antibiotik dengan tujuan mempercepat pengurangan nyeri; berikan edukasi yang lengkap mengenai teknik relaksasi dan distraksi yang tepat bertujuan untuk memberikan pengalihan perhatian pasien saat nyeri menyerang bagian tubuh pasien. Ketiga bagian dari perencanaan ini sangat memerlukan pikiran yang logis dan kritis dari seorang perawat.
Setelah kriteria hasil diidentifikasi maka dilanjutkan pada tahap intervensi yang berupa pengobatan, pertimbangan dan pengetahuan klinis, dan tindakan perawat dalam menambah serta memperluas kriteria hasil (Brown & Edward,2005). Intervensi yang telah dilakukan adalah melakukan pemberian edukasi kepada pasien mengenai penggunaan teknik management stress yaitu teknik relaksasi dengan melakukan meditasi atau yoga; teknik distraksi dengan cara pengalihan diri terhadap rangsangan nyeri seperti menonton televisi, mendengarkan musik, bernyanyi, bercanda tawa dengan keluarga; melakukan pengkajian karakteristik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan menggunakan skala numeris (0-10); melakukan pemberian obat oral (pengurang rasa nyeri ) kepada pasien dilakukan atas pengawasan dan bimbingan salah seorang perawat.
Tahap akhir dari proses keperawatan yaitu yang mengindikasikan evaluasi dari semua tahap proses keperawatan yang telah dilakukan kepada pasien. Hasil evaluasi yang diperoleh dari pelaksanaan implementasi yaitu pasien X terlihat sedikit rileks setelah diberikan teknik mengurangi rasa nyeri. Nyeri berkurang dari level 5 menjadi level 4 dari skala 0 hingga 10 (dalam 6 jam selama waktu praktek).
Berdasarkan kasus pasien X dapat diambil kesimpulan bahwa proses keperawatan memegang peranan penting dalam menentukan keputusan klinis. Hal ini dikarenakan melalui data yang terkumpul dan telah dianalisis maka dapat dibuatlah keputusan klinis. Keputusan klinis tersebut diharapkan dapat memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi pasien termasuk penanganan nyeri.





KESIMPULAN
Perawat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien diberbagai situasi dan keadaan termasuk penanganan masalah nyeri. Nyeri adalah persepsi yang dimiliki pasien ketika mengalami suatu kondisi yang mengganggu dalam kesehariannya. Nyeri bersifat subjektif atau individual sehingga orang lain tidak dapat mengukur penilaian tersebut. Oleh karena itu perawat tidak boleh memberikan konsep yang salah ketika memahami nyeri yang sedang dirasakan pasien. Untuk mencegah hal tersebut maka dibuatlah alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif seperti salah satunya adalah skala penilaian numerik yang dilakukan terhadap kasus nyeri yang dialami pasien X.
Cara yang paling tepat menangani masalah nyeri yaitu melalui pembuatan proses keperawatan. Proses keperawatan dapat digunakan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan klinis dengan cara melakukan pemberian berbagai intervensi terhadap nyeri yang terjadi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan pasien, mengontrol hingga menghilangkan rasa nyeri.


.

Analisa Data Berdasarkan Teori Gordon

ANALISA DATA HASIL PENGKAJIAN
DENGAN MENGGUNAKAN TEORI GORDON

I. Pendahuluan
Perawat membutuhkan suatu kerangka kerja yang sistematik untuk memecahkan suatu masalah dan juga satu pendekatan yang memampukan perawat untuk mengatur dan memberikan asuhan keperawatan. Hal itulah yang disebut dengan istilah proses keperawatan. Proses keperawatan ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan perawatan kesehatan pasien, menentukan prioritas, menetapkan tujuan dan hasil asuhan yang diperkirakan, menetapkan dan mengkomunikasikan rencana asuhan yang berpusat pada pasien, memberikan intervensi keperawatan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pasien, dan mengevaluasi keefektifan asuhan keperawatan dalam mencapai hasil dan tujuan yang diharapkan (Potter & Perry, 2005).
Ada lima rangkaian tahapan yang ada didalam proses keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Kelima tahapan ini bersifat dinamik, berkelanjutan dan berhubungan satu sama lainnya. Berdasarkan teori Gordon pada tahun 1995, terdapat dua langkah awal yang terdapat dalam proses keperawatan yaitu pengkajian dan diagnosa dikatakan sebagai komponen identifikasi masalah, sedangkan perencanaan, implementasi dan evaluasi merupakan komponen pemecahan masalah (Potter & Perry, 2005).
Ketika perawat hendak mengidentifikasi masalah keperawatan, terutama saat menentukan diagnosa keperawatan diperlukan alat untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Terdapat beberapa alat yang dapat digunakan sebagai panduan dalam pengkajian, antara lain: teori human response pattern oleh NANDA, theory of self – care oleh Orem, functional health pattern oleh Majory Gordon, Roy adaptation model, Leininger sunrise model oleh Madeline Leininger , body system mode, dan hierarchy of need oleh Abraham Maslow (Daniels, 2004).
Pada makalah ini, teori yang digunakan dalam mengkaji dan menganalisa pasien adalah teori Gordon “functional health pattern“. Functional health pattern / pola fungsional kesehatan ini terbagi menjadi sebelas yaitu persepsi kesehatan & manajemen kesehatan, aktivitas / latihan, nutrisi / metabolis, persepsi diri – konseptual diri, nilai/ kepercayaan, eliminasi, kognitif/perseptual, peran/hubungan, tidur & istirahat, seksual/reproduksi dan pola pertahanan diri / koping stres (Daniels, 2004). Pasien yang dikaji pola kesehatanya adalah Ny.“B” berusia 50 tahun dengan diagnosa medis fraktur femur dan Diabetes Melitus.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menganalisa pasien ini dengan menggunakan tiga dari sebelas pola Gordon, yaitu persepsi kesehatan & manajemen kesehatan, peran/hubungan dan tidur & istirahat serta melihat hubungan dari ketiga pola itu pada diri pasien.
II. Analisa Data Hasil Pengkajian dengan Menggunakan Teori Gordon
Teori Gordon tentang functional health pattern / pola fungsional kesehatan adalah pendekatan holistik yang bersifat sistematis untuk mengevaluasi segala bidang kebutuhan manusia, dan bidang-bidang tersebut saling bergantung satu sama lain (Rick Daniels, 2004). Pendekatan yang sistematis ini memungkinkan perawat untuk mampu memeriksa dan menilai lebih komprehensif mengenai tindakan dan respon pasien, pengidentifikasian masalah kesehatan pasien dan pengevaluasian dari hasil perawatan. Oleh karena itu, dalam melakukan pengkajian pada pasien B digunakan teori tersebut. Seperti yang telah disebutkan pada pendahulauan, bahwa tiga bagian functional health pattern/ pola fungsional kesehatan yang akan dibahas berdasarkan data-data yang diperoleh hasil wawancara dengan pasien, antara lain: pola persepsi kesehatan & manajemen kesehatan, peran/hubungan dan tidur & istirahat.
Bagian pertama yaitu persepsi kesehatan & manajemen kesehatan merupakan pola yang difokuskan pada perasaan pasien mengenai kesehatan, seperti: pengetahuan tentang gaya hidup dan hubungannya dengan kesehatan, pengetahuan pasien mengenai cara mencegah penyakit, dan kepatuhan perawatan medis. Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien, diperoleh data subjektif yang menyatakan bahwa pasien lebih memilih pengobatan tradisional dan pemijatan untuk menangani patah tulang yang dialaminya karena menurut pasien pengobatan tradisional mampu menyembuhkan segala penyakit, pasien sudah sebelas kali masuk ke rumah sakit dengan penyakit yang sama yaitu Diabetes Melitus dengan kadar glukosa yang paling tinggi yang pernah dialami pasien adalah mencapai lebih dari 400 mg/dL, pasien sering berkonsultasi mengenai penyakit Diabetes Melitus yang dialaminya dengan dokter pribadinya, namun dosis dari obat yang seharusnya dikonsumsi 2 x ½ butir per hari, dikonsumsi sebanyak 1 tablet dimalam hari dengan alasan obat tersebut berukuran kecil sehingga beliau kesulitan untuk membelah obat menjadi ½ tablet. Menurut beliau sama saja, pengkonsumsian obat antara 2 x ½ tablet/ hari dengan 1 x 1 tablet/hari, yaitu tubuh hanya memerlukan 1 tablet setiap harinya, pasien mampu belajar untuk menyuntik dirinya sendiri setelah diberi pengajaran oleh dokter, untuk memperbaiki kesehatannya pasien selalu melakukan olahraga setiap hari pukul 05.00 pagi dan meningkatkan diet ketat walaupun belum sepenuhnya berhasil. Menurut pasien, arti sehat bagi dirinya adalah apabila beliau tidak dirawat di rumah sakit dan masih mampu melakukan aktivitas, sekalipun dengan paksaan.
Berdasarkan wawancara ini, dirumuskan bahwa ada defisit pola persepsi kesehatan & manajemen kesehatan yang ada didalam kategori teori Gordon yaitu pasien memiliki defisit pengetahuan. Hal tersebut menyebabkan pasien memiliki persepsi yang salah mengenai pengkonsumsian dosis obat yang telah direkomendasikan oleh dokter.
Hal serupa juga ditemukan pada persepsi pasien yang salah mengenai pengertian “sehat“ bagi dirinya. Pasien mengungkapkan apabila ia tidak dirawat di rumah sakit dan masih mampu melakukan aktivitas sekalipun dengan paksaan, ia masih berada dalam keadaan sehat. Dari data ini diperoleh pengertian yang berbeda dengan definisi sehat yang sebenarnya. Sehat adalah suatu keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal dan eksternal untuk mempertahankan kesehatannya (Potter & Perry, 2004). Selain itu, berdasarkan data yang diperoleh, pasien lebih memilih untuk menggunakan pengobatan tradisional. Hal ini didukung oleh teori Gordon tahun 2000 yang menyatakan bahwa persepsi kesehatan & manajemen kesehatan bergantung pada budaya, masyarakat, dan kesehatan individu.
Ada sebagian hasil pengkajian yang tidak bertolak belakang dengan teori Gordon yaitu bahwa pasien juga mempunyai kekuatan pada pola persepsi kesehatan & manajemen kesehatan yaitu kesiapan untuk peningkatan status kesehatannya. Hal ini dikarenakan pasien mampu menangkap hal-hal yang disarankan dokter seperti melakukan diet ketat dan mampu menyuntik insulin secara mandiri setelah mendapat pengajaran oleh dokter. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa sebenarnya pasien mengetahui cara mempertahankan dan meningkatkan pola hidup sehat bagi dirinya.
Bagian kedua yaitu pola peran/hubungan, yaitu pola pengkajian yang difokuskan pada peran pasien di dalam komunitas dan hubungan dengan orang lain seperti peran dan tanggung jawab pasien terhadap anggota keluarga dan orang-orang lain di sekitarnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan pasien diperoleh data yang menyatakan bahwa pasien sangat terlibat dengan cucu yang tinggal bersamanya termasuk seluruh kegiatannya. Pasien mempunyai hubungan yang baik dengan orang-orang yang berada dalam komunitasnya, ia memiliki peran dalam kegiatan darma wanita, peranan sebagai ibu yang bertanggungjawab atas perawatan rumah dan atas pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh keluarga. Setelah dilakukan analisa data, tidak ditemukan defisit yang berhubungan dengan pola peran/hubungan pada diri pasien
Bagian ketiga yaitu pola tidur dan istirahat, yang merupakan pengkajian mengenai kemampuan pasien untuk tidur, istirahat dan praktik relaksasi, seperti: pengkajian pola tidur pasien selama 24 jam, persepsi pasien mengenai kualitas dan kuantitas mengenai pola tidur dan istirahat, persepsi pasien mengenai tingkat kekuatan setelah tidur, ataupun penggunaan obat-obatan rutin untuk membantu tidur. Dari hasil pengkajian diperoleh data bahwa pasien selalu menyempatkan waktu untuk tidur siang, menurut pasien kualitas tidur yang baik itu bila mampu menghasilkan banyak energi dan pasien tidak kurang tidur. Pasien juga mengatakan bahwa setiap manusia membutuhkan waktu kurang lebih tujuh jam untuk tidur di malam hari. Pernyataan pasien ini tidak bertentangan dengan teori tidur& istirahat pada tahap usia paruh baya oleh Potts & Mandleco tahun 2002 yaitu manusia membutuhkan 6-8 jam untuk tidur pada malam hari. Maka dapat disimpulkan, bahwa tidak ditemukan fungsi kekurangan yang berhubungan pola tidur& istirahat pada diri pasien.
Setelah mengetahui penjabaran pola-pola functional health patterns / pola fungsional kesehatan, dapat terlihat bahwa pada diri pasien ketiganya saling berhubungan, yakni antara pola persepsi kesehatan & manajemen kesehatan, peran/hubungan dan tidur & istirahat serta saling berpengaruh satu dengan yang lain. Apabila pasien memiliki persepsi kesehatan & manajemen kesehatan yang baik maka pasien akan memiliki pandangan yang tepat mengenai kesehatan, sehingga ketika pasien menjalankan peran dan tanggungjawabnya ia mampu untuk menerapkan pola tidur & istirahat yang baik di komunitas,di dalam keluarga dan bagi dirinya sendiri.

III. Kesimpulan
Teori Gordon dapat digunakan sebagai alat panduan dalam mengumpulkan data pada tahap awal dari proses keperawatan yaitu tahap pengkajian. Bila dihubungkan dengan hasil pengkajian pasien B diketahui bahwa pasien mempunyai beberapa persepsi yang salah mengenai kesehatannya, namun disisi lain pasien juga mampu memahami cara mempertahankan kondisinya dalam keadaan sehat yaitu dengan cara berolahraga dan melakukan diet ketat bagi dirinya. Disamping itu, hasil dari kategori pengkajian pola peran/ hubungan dan pola tidur & istirahat tidak ditemukan analisa yang berhubungan dengan kekurangan dalam kehidupan pasien. Berdasarkan penjabaran dari data-data tersebut diketahui bahwa antara pola persepsi kesehatan & manajemen kesehatan, peran/hubungan serta tidur & istirahat mempunyai hubungan satu dan lainnya. Bila pasien mempunyai pola persepsi yang benar mengenai kesehatan maka pasien mampu menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagai orangtua dalam mengatur pola tidur di dalam keluarga baik bagi anak-anak, suami dan dirinya sendiri.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa teori Gordon ini sangat bermanfaat bagi perawat dalam mengembangkan pengkajian terhadap pola kesehatan pasien. Tindakan pengkajian tersebut akan menghasilkan data-data yang mampu membantu pekerjaan perawat dalam menentukan diagnosa dan pemilihan tindakan keperawatan yang tepat bagi kesehatan pasien.